Tugas-Tugas Kuliah DSS………….

Yak,….selama setengah semester ini, mata kuliah DSS adalah mata kuliah yang frekuensi pemberian tugas-tugasnya paling gede, soalnya biasanya rutin dikasih tiap minggu. Kalo kata saya si, biarpun tugas-tugasnya relatif simpel, tapi lumayan bikin repot. Biasanya kita disuruh nyari jurnal tentang keputusan, trus kita bikin resume deh. Nah, bagian yang paling repot itu pas nyari jurnal yang bener dan bagus. Letak kerepotannya adalah jurnal yang dipake ga’ boleh sama antar mahasiswa. Jadinya, apa boleh buat…., siapa cepat…….dia dapat…….

Disini saya mau nulis tugas-tugas tugas DSS yang telah diberikan oleh Pak Dachyar selaku dosen matakuliah DSS dan telah saya kerjakan dengan….yah lumayan ok lah ya… Jumlah tugasnya ada 6 buah dan akan dijelasin satu per satu.

TUGAS 1 – Cari jurnal tentang keputusan, terus diresume

Pada tugas pertama ini, jurnal yang saya dapet adalah mengenai fuzzy decision. Jurnalnya berjudul “Distributed Fuzzy Decision Making for Production Scheduling”. Proses pencarian jurnalnya lumayan lama, soalnya lumayan sulit nyarinya dan jurnal yang bagus-bagus ya…. biasa lah… udah ada yang make. Tapi, jurnal yang saya dapet luman bagus lho… Jurnai ini berisi tentang penggunaan fuzzy decision making pada sistem produksi ban dimana sistem produksi ban ini, seperti sistem produksi umumnya, memiliki multi tujuan (misalnay tingkat keluaran yang tinggi dan stok yang). Nah, untuk membandingkan dan mengkompensasikan multi tujuan ini, maka dapat digunakan pendekatan fuzzy decision making yang bisa memutuskan mengenai aliran material dan mesin berdasarkan pada variabel seperti working load atau panjang antrian kerja. Pada jurnal ini dijelaskan mengenai 2 metode yang digunkan untuk melakukan scheduing, yaitu metode single feature crisp decision (SFCD) dan multi feature fuzzy decision (MFFD). Terus, kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa dari hasil simulasi yang dilakukan, bahwa metode MFFD dapat membawa atau menjadikan perilaku sistem yang lebih baik dan menguntungkan dibandingkan dengan meode SCFD.

TUGAS 2 – Membuat penjelasan mengenai Fuzzy Decision (metode decision tugas-1)

Pada tugas kedua ini, kita disuruh memberikan penjelasan dan keuntungan dari teori keputusan yang ada pada masing-masing jurnal yang dipakai pada tugas 1. Secara pada tugas 1, jurnal yang saya dapet tentang fuzzy teori, jadi pada tugas 2 ini, tugasnya adalah menjelasjan tentang fuzzy decision. Untuk bisa membuat tugas ini, saya harus mencari bahan-bahan atau artikel-artikel mengenai teori fuzzy. Nah, dari sumber yang saya dapet diketahui bahwa logika fuzzy adalah peningkatan dari logika Boolean yang berhadapan dengan konsep kebenaran sebagian. Di mana logika klasik menyatakan bahwa segala hal dapat diekspresikan dalam istilah binary (0 atau 1, hitam atau putih, ya atau tidak), logika fuzzy menggantikan kebenaran boolean dengan tingkat kebenaran. Logika Fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1, tingkat keabuan dan juga hitam dan putih, dan dalam bentuk linguistik, konsep tidak pasti seperti “sedikit”, “lumayan”, dan “sangat”. Dia berhubungan dengan set fuzzy dan teori kemungkinan. Dia diperkenalkan oleh Dr. Lotfi Zadeh dari Universitas California, Berkeley pada 1965. Terus, keuntungan dari fuzzy theory adalah metode ini dapat membuat model matematis dari pernyataan yang sangat ambigu. Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah perhitungannya yang rumit dan susah dikerjakan tanpa bantuan alat atau software.

TUGAS 3 – Jurnal dan resume jurnal tentang qualitative decision making

Pada tuga 3 ini, saya sempat mengunakan jurnal yang salah, karena jurnal yang saya pakai adalah jurnal lokal. Terus, pak Dachyar nyuruh ganti atau ngirim tugas perbaikan. Nah, terus saya nyoba nyari lagi jurnal internasioanl tentang qualitative decision making. Menurut saya, tugas 3 ini adalah tugas yang paling sulit dicari jurnalnya, soalnya jurnal tentang qualitative decision making tidak terlalu banyak. Jurnal perbaikan yang saya kirim berjudul “Qualitative Decision Models for Structured Modeling Technology”. Jurnal ini menjelaskan mengenai penggunaan structured modeling technology (SMT) pada Ottawa Hospital. SMT merupakan aplikasi modeling yang dirancang untuk support model-based analysis dari suatu decision problem yang kompleks yang tak dapat diselesaikan dengan metode lain. SMT ini irancang untuk menyelesaikan decision problem dengan metode dan data kualitatif. SMT ini menggunakan attributes, sebagai asumsi dasar yang digunakan untuk mengambil keputusan kualitatif. SMT ini menggunakan decision rules, contoh: if temperature=high then patient=ill.

TUGAS 4 – Penjelasan mengenai Analytic Hierarchy Process (AHP) dan contoh file expert choice.

Tugas 4 ini juga lumayan repot…. Kita disuruh mencari pengertian AHP dan juga penerapannya. Terus ditambah lagi sama disuruh mencari file expert choice. Nah, yang terakhir itu tuh yang susyah… Untuk mengerjakan tugas mengenai AHP dan penerapannya, saya mencari artikel dan jurnal yang berhubungan dengan AHP. Dari sumber – sumber yang saya dapet, maka diketahui bahwa Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah suatu pendekatan pengambilan keputusan yang meliputi penstrukturan kriteria dari banyak pilihan menjadi suatu hirarki, menilai kepentingan hubungan dari kriteria-kriteria tersebut, membandingkan alternatif untuk setiap kriteria, dan menentukan peringkat menyeluruh dari alternatif-alternatif. Kemudian contoh penerapan AHP yang saya dapet adalah mengenai pemilihan vendor sistem informasi manajemen dengan menggunakan AHP.

TUGAS 5 – Pembobtan (Weighting) pada AHP

Nah, tugas 5 ini adalah terusan dari tugas 4. Kita disuruh menerangkan mengenai pembobotan AHP pada contoh penerapan AHP yang digunakan pada tugas 4. Pembobotan dalam AHP dilakukan dengan menggunakan perbandingan berpasangan; Perbandingan berpasangan adalah aspek terpenting dalam menggunakan AHP. Pengambil keputusan membandingkan dua alternatif yang berbeda dengan menggunakan sebuah skala yang bervariasi dari ‘equally preferred’ sampai dengan ‘extremely preferred’. Adapun perbandingan berpasangan tersebut terdiri dari seperti berikut ini:

1 – Equally preferred

2 – Equally to moderately preferred

3 – Moderately preferred

4 – Moderately to strongly preferred

5 – Strongly preferred

6 – Strongly to very strongly preferred

7 – Very strongly preferred

8 – Very to extremely strongly preferred

9 – Extremely preferred

TUGAS 6 – Membuat pengambilan keputusan dengan menggunakan Expert Choice

Pada tugas 6 ini, kita disuruh menggunakan software expert choice untuk membuat suatu keputusan. Expert choise adalah software yang digunakan untuk membantu kita melakukan atau membuat keputan pemilihan dari beberapa alternatif yang ada. Permasalah yang saya buat adalah mengenai pemilihan merek gitar yang paling cocok buat saya. Merk gitar yang menjadi alternative pilihan dalah Jackson, Washburn, dan Gibson. Kriteria pemiliha yang digunakan ada 5, yaitu style, jenis kayu, jumlah fret, karakter soud, dan jenis pick-up. Masing-masing kriteria memiliki 3 subkriteria. Dari proses pengambilan keputusa dengan metode AHP dari expert choice, hasil yang didapat adalah gitar merk Jackson merupakan gitar yang paling cocok buat saya, dan aspek pertimbangan yang paling berpengaruh adalah karakter sound.

Yak… demikianlah keenam tugas mata kluliah DSS…. Tugas-tugas itu sangat membantu saya untuk mengerti dan memahami bagaiamana decision making itu…. thnx…….

GOOGLE APPS

Minggu lalu gw kuliah KM di lab jurusan. Trus kuliahnya tuh seru abiss…. Kita belajar menggunakan google apps untuk interaksi antar mahasiswa. Jadinya kita disitu daling berhubungan via internet (pake aplikiasi google aps) untuk ngebuat proposal kegiatan. Jadi singkat kata google aps ini bisa kita gunain sebagai server untuk mail dan diskusi jarak jauh…
Ok… gw akan sedikit mengupas mengenai google apps ini. Googel apps ini menggunakan bahasa pemrograman AJAX yang penjelasannya telah saya posting sebelumnya….(liat dibawah dong…). Dengan menggunakan aplikasi AJAX ini, pada bulan Agustus 2006 google mengembangkan suatu aplikasi yang namanya google apps. Google Apps merupakan layanan perangkat komunikasi dan kolaborasi sederhana namun bisa dibilang sangat canggih. Dimana layanan ini ditujukan untuk memberikan kemudahan kepada suatu organisasi yang membutuhkan layanan Powerfull dengan harga murah bahkan gratis. Dengan memiliki account gratis di Google Apps berarti sudah memiliki beberapa layanan yang siap diberikan kepada penguna atas nama domain kita, layanan yang diberikan berupa satu paket yaitu Account Gmail, Google Calendar, Google Talk dan Docs & Spreadsheets.Untuk lebih jelasnya dan mau nyoba goole apps langsung klik ajah nih link-nya–>
http://www.google.com/a/?hl=id

Cranberries – Animal Instinct Lyric

Suddenly something has happened to me
As I was having my cup of tea
Suddenly I was felling depressed
I was utterly and totally stressed
Do you know you made me cry
Do you know you made me die
And the thing that gets to me
Is you’ll never really see
And the thing that freaks me out
Is I’ll always be in doubt
It is a lovely thing that we have
It is a lovely thing, the animal
The animal instinct
So take my hands and come with me
We will change reality
So take my hands and we will pray
They won’t take you away
They will never make me cry, no
They will never make me die
And the things that gets to me
Is you’ll never really see
And the thing that freaks me out
Is I’ll always be in doubt
The animal, the animal, the animal instinct in me
It’s the animal, the animal, the animal instinct in me
It’s the animal, it’s the animal,
It’s the animal instinct in me X 2

Teknologi Web 2.0

Internet

Dunia internet seakan-akan telah menjadi bagian hidup dari masyarakat modern saat ini. Betapa tidak, karena internet secara lengkap menyediakan kebutuhan akan informasi, berita, serta ilmu pengetahuan. Dengan internet seolah-olah tidak ada lagi batasan antar ruang dan waktu dalam berkomunikasi dengan berbagai orang di berbagai belahan dunia. Sebagai konsumen dari teknologi web tentunya mengharapkan tampilan layar yang mengasyikan serta mudah dipakai dan dimanfaatkan. Pada dasarnya web merupakan suatu kumpulan hyperlink yang menuju dari alamat satu ke alamat lainnya dengan bahasa HTML (HyperText Markup Languange).

 

Teknologi AJAX

 

Dalam pengaplikasian web HTML tidak mungkin sendiri dalam membuat suatu desain yang benar-benar bagus. Oleh karena itu HTML selalu ditemani oleh CSS (Cascading Style Sheet) untuk mempercantik desain, JavaScript untuk membuat tampilan yang dinamis, dan XML (eXtensible  Markup Language) yang digunakan untuk mendefinisikan format data . Teknologi penggabungan dari JavaScript dan XML saat ini yang marak disebut dengan AJAX (Asynchorous JavaScript And XML) yang menekankan pada pengelolaan content dalam website.

 

Perkembangan Web 2.0

 

Inovasi dalam dunia web semakin hari kian mengalami perkembangan yang berarti, ini dibuktikan dengan adanya Teknologi Web 2.0 yang dikembangkan sekitar tahun 2004. Walaupun sudah termasuk lama kedengarannya oleh para praktisi web, namum sebagian besar mereka masih bertanya-tanya tentang fungsi dan kegunaannya. Web 2.0 merupakan teknologi web yang menyatukan teknologi-teknologi yang dimiliki dalam membangun web. Penyatuan tersebut merupakan gabungan dari HTML, CSS, JavaScript, XML, dan tentunya AJAX.

 

Perkembangan web 2.0 lebih menekankan pada perubahan cara berpikir dalam menyajikan konten dan tampilan di dalam sebuah website. Dalam perkembangannya Web 2.0 diaplikasikan sebagai bentuk penyajian halaman web yang bersifat sebagai program desktop pada umumnya seperti Windows. Fungsi-fungsi pada penerapannya sudah bersifat seperti desktop, seperti drag and drop, auto-complete, serta fungsi lainnya. Aplikasi Web 2.0 disajikan secara penuh dalam suatu web browser tanpa membutuhkan teknologi perangkat yang canggih dari sisi user. Tidak mengherankan bila suatu aplikasi (software) dapat diakses secara online tanpa harus menginstalnya terlebih dahulu. Software tersebut misalnya software pengolah kata (seperti MS Word) atau software pengolah angka (seperti MS Excel).

 

Teknologi ke depan suatu software berbasisi web tidak lagi dijual melainkan suatu fasilitas gratis yang dapat digunakan setiap waktu. Permasalahan manajemen file juga tidak merepotkan, bahkan file dapat disimpan dan juga dapat di-sharing dengan user lain. Implementasi dari teknologi Web 2.0 dapat dilihat pada aplikasi sprearsheet pada Google yang merupakan aplikasi untuk operasi mengolah angka seperti MS Excel. Aplikasi ini dapat dilihat pada http://spreadsheets.google.com/ , tentunya aplikasi tersebut membutuhkan suatu akun Google untuk memasukinya.

 

 

Suatu web 2.0 biasanya digunakan sebagai akhir dari siklus peluncuran produk software, mengilustrasikan setiap produsen software tidak lagi meluncurkan produknya dalam bentuk fisik. Karena web menjadi platform, pengguna cukup datang ke website untuk menjalankan aplikasi yang ingin mereka gunakan. Hasil dari pengembangan fitur di dalam software dapat langsung dirasakan oleh pengguna. Software tidak lagi dijual sebagai produk namun berupa layanan (service).

 

Karakteristik Web 2.0

 

Kemudahan berinteraksi antara user dengan sistem merupakan tujuan dibangunnya teknologi Web 2.0. Interaksi tersebut tentunya haruslah diimbangi dengan kecepatan untuk mengakses, oleh karena itu diperlukan suatu bandwith yang cukup untuk loading data. Loading data tersebut dilakukan saat pertama kali membuka situs, data-data tersebut antara lain CSS, JavaScript, dan XML. Salah satu karakteristiknya adalah adanya dukungan pada pemrograman yang sederhana dan ide akan web service atau RSS. Ketersediaan RSS akan menciptakan kemudahan untuk di-remix oleh website lain dengan menggunakan tampilannya masing-masing dan dukungan pemrograman yang sederhana. Adanya kemajuan inovasi pada antar-muka di sisi pengguna merupakan karakter dari Web 2.0. Dukungan AJAX yang menggabungkan HTML, CSS, Javascript, dan XML pada Yahoo!Mail Beta dan Gmail membuat pengguna merasakan nilai lebih dari sekedar situs penyedia e-mail. Kombinasi media komunikasi seperti Instant Messenger (IM) dan Voice over IP (VoIP) akan semakin memperkuat karakter Web 2.0 di dalam situs tersebut.

Sejarah Punk……..

Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik.

Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.

Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal.

Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker.

Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan bahkan masalah agama.

Gaya hidup dan Ideologi

Psikolog brilian asal Rusia, Pavel Semenov, menyimpulkan bahwa manusia memuaskan kelaparannya akan pengetahuan dengan dua cara. Pertama, melakukan penelitian terhadap lingkungannya dan mengatur hasil penelitian tersebut secara rasional (sains). Kedua, mengatur ulang lingkungan terdekatnya dengan tujuan membuat sesuatu yang baru (seni).
Dengan definisi diatas, punk dapat dikategorikan sebagai bagian dari dunia kesenian. Gaya hidup dan pola pikir para pendahulu punk mirip dengan para pendahulu gerakan seni avant-garde, yaitu dandanan nyleneh, mengaburkan batas antara idealisme seni dan kenyataan hidup, memprovokasi audiens secara terang-terangan, menggunakan para penampil (performer) berkualitas rendah dan mereorganisasi (atau mendisorganisasi) secara drastis kemapanan gaya hidup. Para penganut awal kedua aliran tersebut juga meyakini satu hal, bahwa hebohnya penampilan (appearances) harus disertai dengan hebohnya pemikiran (ideas).

Punk selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley. Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat.

Akibatnya punk dicap sebagai musik rock n’ roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka.

Gaya hidup ialah relatif tidak ada seorangpun memiliki gaya hidup sama dengan lainnya. Ideologi diambil dari kata “ideas” dan “logos” yang berarti buah pikiran murni dalam kehidupan. Gaya hidup dan ideologi berkembang sesuai dengan tempat, waktu dan situasi maka punk kalisari pada saat ini mulai mengembangkan proyek “jor-joran” yaitu manfaatkan media sebelum media memanfaatkan kita. Dengan kata lain punk berusaha membebaskan sesuatu yang membelenggu pada zamannya masing-masing.

Punk dan Anarkisme

Kegagalan Reaganomic dan kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam di tahun 1980-an turut memanaskan suhu dunia punk pada saat itu. Band-band punk gelombang kedua (1980-1984), seperti Crass, Conflict, dan Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, MDC dan Dead Kennedys dari Amerika telah mengubah kaum punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekadar pemuja rock n’ roll. Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang pertama (1972-1978), antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik.

Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Padahal menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri.

Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.

Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etika semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri).

Keterlibatan kaum punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam ideologi anarkisme itu sendiri, karena punk memiliki ke-khasan tersendiri dalam gerakannya. Gerakan punk yang mengusung anarkisme sebagai ideologi lazim disebut dengan gerakan Anarko-punk.


Keep Rockin Guys!!!

Sejarah Musik Rock Indonesia

Gw dapet arsip menarik nih… tentang runutan sejarah perkembangan musik Rock Di Tanah Air.  Secara gw suka musik rock, menurut gw nih artikel bagus banget isinya…

Baca aja deh., pasti lo akan tercengang….!!!!

———————————————————–
Awal Mula

Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy(Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70- an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah
namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album
ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.

Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong, anak-anak yang hang out di sana oleh Tante Esther, owner Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.

Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura), Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator), Razzle (GN’R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream (Obituary). Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya banyak yang membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal band gothic metal Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal lawas Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara Ada Apa Dengan Cinta?). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat itu masih kurang ekstrem baginya.

Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang masih berkutat pola tradisi `sekolah lama’, bangga menjadi band cover version! Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka adalah salah satu finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia. Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik- musik rock/metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yang
mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.

Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan juga
mantan vokalis Rotor.

Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band- band rock/metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini. Selain Pid Pub, venue alternatif tempat band-band rock underground
manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA
Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas
Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).

Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses “membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah
label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band
seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius
Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.

Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air, mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering
terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal daninternasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.

Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit Him’. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).

Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover
penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan
sebagainya.

29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama “Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek
Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah,
Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.

10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan malah banyak melahirkan venue- venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut,
Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yangterletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.

Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop

Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari Sex Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan dress-up punk dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses. Konon, peristiwa historik ini
kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V,
Parklife hingga Death Goes To The Disco.

Pestol Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally’ baru rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman.

Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited. Nggak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy’ via label indie Movement Records. Komunitas-
komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.

Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah album kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical Death hingga Out Of Control.

Bandung scene

Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan
membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.

Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.

Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.

Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.

Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.

Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!

Scene Jogjakarta

Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota ini ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas metal underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder. Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg. Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction.

Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti. Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop sampai The Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang pertama di Indonesia. Parkinsound #3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001 silam di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hingga
Mesin Jahat.

Scene Surabaya

Scene underground rock di Surabaya bermula dengan semakin tumbuh-berkembangnya band-band independen beraliran death metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI – Red) dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry, Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut.

Setelah event itu masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band Retri Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek, kini RIP – Red). Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya scene underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya sekitar 7-10 band saja.

Rencana pertama Independen waktu itu adalah menggelar konser underground rock di Taman Remaja, namun rencana ini ternyata gagal karena kesibukan melakukan konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin jelas dan mulai berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir bulan Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya.

Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen, divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album milik Slowdeath yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction” (September 96), debut album Dry berjudul “Under The Veil of Religion” (97), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery of Celerage” hingga debut album milik Fear Inside
yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.

Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah Surabaya Underground Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas 45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran musik black metal. Salah satu band death metal lama yaitu, Dry kemudian berpindah konsep musik seiring dengan derasnya pengaruh musik black metal di Surabaya kala itu.

Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan saja, S.U.S di tahun yang sama dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang beraliran black metal kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru bernama ARMY OF DARKNESS yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak ikut membentuk organisasi baru. Selanjutnya di bulan September 1997 digelar event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal dan black metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band black metal asal Bekasi juga turut tampil di even tersebut sebagai band undangan.

Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih banyak didominasi oleh band-band black metal dibandingkan band death metal/grindcore. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event-event musik black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti ARMY OF DARKNESS I dan II.

Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas underground INFERNO 178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR. Moestopo,Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara underground di Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh INFERNO 178 antara lain adalah, STOP THE MADNESS, TEGANGAN TINGGI I & II hingga BLUEKHUTUQ LIVE.

Band-band underground rock yang kini bernaung di bawah bendera INFERNO 178 antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal komunitas INFERNO 178, Surabaya bernama POST MANGLED pertama kali terbit kala itu di event TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair dengan tampilnya band-band punk rock dan metal. Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan mandegnya proses penggarapan POST MANGLED Zine yang tidak kunjung mengeluarkan edisinya yang terbaru hingga kini.

Maka, untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS Newsletter yang terbit pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai aktivitas musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja tetapi lebih luas lagi. Respon positif pun menurut mereka lebih banyak datang justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah mengapa, menurut mereka publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan minim dukungannya terhadap publikasi independen macam fanzine atau newsletter tersebut. Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga ke- 12.

Divisi indie label dari INFERNO 178 paling tidak hingga sekitar 10 rilisan album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka. Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178 Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners yang berjudul “Ajang Kebencian”. Selanjutnya label
INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel “Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.

Scene Malang

Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Surabaya ini ternyata memiliki scene rock underground yang “panas” sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community(T.S.C) yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock underground di Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai macam musisi lintas-scene, namun dominasinya tetap
saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal),Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial
death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).

Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death metal di Indonesia. Album debut mereka yang
bertitel “Maggot Sickness” saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch. Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang
diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused Records

Scene Bali

Berbicara scene underground di Bali kembali kita akan menemukan komunitas metal sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain, Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah editor majalah metal Megaton yang terbit di
Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia
Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang
berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.

Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996 menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil diantaranya Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta). Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock underground tahunan di sana. Salah satu
alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes
dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat.

Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara rock reguler di tempat ini.

Indie Indonesia Era 2000-an

Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan.

Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie’ dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non- mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah `indie atau underground’ ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah `underground’ semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out’, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis’ dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh
meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.

Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini.

The Beatles – Yesterday Lyric

Yesterday, all my troubles seemed so far away.
Now it looks as though they’re here to stay.
Oh, I believe in yesterday.

Suddenly, I’m not half the man I used to be,
There’s a shadow hanging over me,
Oh, yesterday came suddenly.

Why she had to go
I don’t know she wouldn’t say.
I said something wrong,
Now I long for yesterday.

Yesterday, love was such an easy game to play.
Now I need a place to hide away.
Oh, I believe in yesterday.

Why she had to go
I don’t know she wouldn’t say.
I said something wrong,
Now I long for yesterday.

Yesterday, love was such an easy game to play.
Now I need a place to hide away.
Oh, I believe in yesterday.
Mm mm mm mm mm mm mm.

Control Chart

Waduh…. tadi gw ngumpul kelompok mata kuliah Sistem Kualitas…

Trus ,  pas pembagian tugas.. gw dapet kebagian bikin form control chart….

Nah,, nih gw langsung browsing nyari-nayri bahan ttg control chart….

Control Chart

What is it?

A Control Chart is a tool you can use to monitor a process. It graphically depicts the average value and the upper and lower control limits (the highest and lowest values) of a process.

Who uses it?

The management, the team.

Why use it?

All processes have some form of variation. A Control Chart helps you distinguish between normal and unusual variation in a process. If you want to reduce the amount of variation in a process, you need to compare the results of the process with a standard. Variation can exist for two reasons:

  1. Common causes are flaws inherent in the design of the process.
  2. Special causes are variations from standards caused by employees or by unusual circumstances or events.

Most variations in processes are caused by flaws in the system or the process, not by the employees. Once you realize this, you can stop blaming the employees and start changing the systems and processes that cause the employees to make mistakes. (It is important to remember, however, that some variations are not “mistakes” introduced by employees, but, rather, they are innovations. Some variations are deliberately introduced to processes by employees specifically because these variations are found to be more practical.)

When to use it?

First, you need to define the standards of how things should be. Then, you need to monitor (collect data) about processes in your organization. Then, you create a control graph using the monitoring data.

How to use it:

  1. Select the process to be charted and decide on the type of control chart to use.
    • Use a Percent Nonconforming Chart (more information available from Health Tactics P Chart) if you have data measured using two outcomes (for example, the billing can be correct or incorrect).
    • Use an Average and Range Control Chart (more information available from Health Tactics X-R Chart) if you have data measured using a continuous scale (for example, waiting time in the health center).
  2. Determine your sampling method and plan:
    • Choose the sample size (how many samples will you obtain?).
    • Choose the frequency of sampling, depending on the process to be evaluated (months, days, years?).
    • Make sure you get samples at random (don’t always get data from the same person, on the same day of the week, etc.).
  3. Start data collection:
    • Gather the sampled data.
    • Record data on the appropriate control graph.
  4. Calculate the appropriate statistics (the control limits) depending on the type of graph.
  5. Observation:
    The control graph is divided into zones: ______________________________ Upper Control Limit (UCL)

    ______________________________ Standard (average)

    ______________________________ Lower Control Limit (LCL)

  6. Interpret the graph:
    • If the data fluctuates within the limits, it is the result of common causes within the process (flaws inherent in the process) and can only be affected if the system is improved or changed.
    • If the data falls outside of the limits, it is the result of special causes (in human service organizations, special causes can include bad instruction, lack of training, ineffective processes, or inadequate support systems).
    • These special causes must be eliminated before the control chart can be used as a monitoring tool. In a health setting, for example, staff may need better instruction or training, or processes may need to be improved, before the process is “under control.” Once the process is “under control,” samples can be taken at regular intervals to assure that the process does not fundamentally change.
    • A process is said to be “out of control” if one or more points falls outside the control limits.

Knowledge Management—Emerging Perspectives

Yes, knowledge management is the hottest subject of the day. The question is: what is this activity called knowledge management, and why is it so important to each and every one of us? The following writings, articles, and links offer some emerging perspectives in response to these questions. As you read on, you can determine whether it all makes any sense or not.

Developing a Context

Like water, this rising tide of data can be viewed as an abundant, vital and necessary resource. With enough preparation, we should be able to tap into that reservoir — and ride the wave — by utilizing new ways to channel raw data into meaningful information. That information, in turn, can then become the knowledge that leads to wisdom. Les Alberthal

Before attempting to address the question of knowledge management, it’s probably appropriate to develop some perspective regarding this stuff called knowledge, which there seems to be such a desire to manage, really is. Consider this observation made by Neil Fleming as a basis for thought relating to the following diagram.

    • A collection of data is not information.
    • A collection of information is not knowledge.
    • A collection of knowledge is not wisdom.
    • A collection of wisdom is not truth.

The idea is that information, knowledge, and wisdom are more than simply collections. Rather, the whole represents more than the sum of its parts and has a synergy of its own.

We begin with data, which is just a meaningless point in space and time, without reference to either space or time. It is like an event out of context, a letter out of context, a word out of context. The key concept here being “out of context.” And, since it is out of context, it is without a meaningful relation to anything else. When we encounter a piece of data, if it gets our attention at all, our first action is usually to attempt to find a way to attribute meaning to it. We do this by associating it with other things. If I see the number 5, I can immediately associate it with cardinal numbers and relate it to being greater than 4 and less than 6, whether this was implied by this particular instance or not. If I see a single word, such as “time,” there is a tendency to immediately form associations with previous contexts within which I have found “time” to be meaningful. This might be, “being on time,” “a stitch in time saves nine,” “time never stops,” etc. The implication here is that when there is no context, there is little or no meaning. So, we create context but, more often than not, that context is somewhat akin to conjecture, yet it fabricates meaning.

That a collection of data is not information, as Neil indicated, implies that a collection of data for which there is no relation between the pieces of data is not information. The pieces of data may represent information, yet whether or not it is information depends on the understanding of the one perceiving the data. I would also tend to say that it depends on the knowledge of the interpreter, but I’m probably getting ahead of myself, since I haven’t defined knowledge. What I will say at this point is that the extent of my understanding of the collection of data is dependent on the associations I am able to discern within the collection. And, the associations I am able to discern are dependent on all the associations I have ever been able to realize in the past. Information is quite simply an understanding of the relationships between pieces of data, or between pieces of data and other information.

While information entails an understanding of the relations between data, it generally does not provide a foundation for why the data is what it is, nor an indication as to how the data is likely to change over time. Information has a tendency to be relatively static in time and linear in nature. Information is a relationship between data and, quite simply, is what it is, with great dependence on context for its meaning and with little implication for the future.

Beyond relation there is pattern, where pattern is more than simply a relation of relations. Pattern embodies both a consistency and completeness of relations which, to an extent, creates its own context. Pattern also serves as an Archetype with both an implied repeatability and predictability.

When a pattern relation exists amidst the data and information, the pattern has the potential to represent knowledge. It only becomes knowledge, however, when one is able to realize and understand the patterns and their implications. The patterns representing knowledge have a tendency to be more self-contextualizing. That is, the pattern tends, to a great extent, to create its own context rather than being context dependent to the same extent that information is. A pattern which represents knowledge also provides, when the pattern is understood, a high level of reliability or predictability as to how the pattern will evolve over time, for patterns are seldom static. Patterns which represent knowledge have a completeness to them that information simply does not contain.

Wisdom arises when one understands the foundational principles responsible for the patterns representing knowledge being what they are. And wisdom, even more so than knowledge, tends to create its own context. I have a preference for referring to these foundational principles as eternal truths, yet I find people have a tendency to be somewhat uncomfortable with this labeling. These foundational principles are universal and completely context independent. Of course, this last statement is sort of a redundant word game, for if the principle was context dependent, then it couldn’t be universally true now could it?

So, in summary the following associations can reasonably be made:

  • Information relates to description, definition, or perspective (what, who, when, where).
  • Knowledge comprises strategy, practice, method, or approach (how).
  • Wisdom embodies principle, insight, moral, or archetype (why).

Now that I have categories I can get hold of, maybe I can figure out what can be managed.

An Example

This example uses a bank savings account to show how data, information, knowledge, and wisdom relate to principal, interest rate, and interest.

Data: The numbers 100 or 5%, completely out of context, are just pieces of data. Interest, principal, and interest rate, out of context, are not much more than data as each has multiple meanings which are context dependent.

Information: If I establish a bank savings account as the basis for context, then interest, principal, and interest rate become meaningful in that context with specific interpretations.

  • Principal is the amount of money, $100, in the savings account.
  • Interest rate, 5%, is the factor used by the bank to compute interest on the principal.

Knowledge: If I put $100 in my savings account, and the bank pays 5% interest yearly, then at the end of one year the bank will compute the interest of $5 and add it to my principal and I will have $105 in the bank. This pattern represents knowledge, which, when I understand it, allows me to understand how the pattern will evolve over time and the results it will produce. In understanding the pattern, I know, and what I know is knowledge. If I deposit more money in my account, I will earn more interest, while if I withdraw money from my account, I will earn less interest.

Wisdom: Getting wisdom out of this is a bit tricky, and is, in fact, founded in systems principles. The principle is that any action which produces a result which encourages more of the same action produces an emergent characteristic called growth. And, nothing grows forever for sooner or later growth runs into limits.

If one studied all the individual components of this pattern, which represents knowledge, they would never discover the emergent characteristic of growth. Only when the pattern connects, interacts, and evolves over time, does the principle exhibit the characteristic of growth.

Note: If the mechanics of this diagram are unfamiliar, you can find the basis in Systems Thinking Introduction .

Now, if this knowledge is valid, why doesn’t everyone simply become rich by putting money in a savings account and letting it grow? The answer has to do with the fact that the pattern described above is only a small part of a more elaborate pattern which operates over time. People don’t get rich because they either don’t put money in a savings account in the first place, or when they do, in time, they find things they need or want more than being rich, so they withdraw money. Withdrawing money depletes the principal and subsequently the interest they earn on that principal. Getting into this any deeper is more of a systems thinking exercise than is appropriate to pursue here.

A Continuum

Note that the sequence data -> information -> knowledge -> wisdom represents an emergent continuum. That is, although data is a discrete entity, the progression to information, to knowledge, and finally to wisdom does not occur in discrete stages of development. One progresses along the continuum as one’s understanding develops. Everything is relative, and one can have partial understanding of the relations that represent information, partial understanding of the patterns that represent knowledge, and partial understanding of the principles which are the foundation of wisdom. As the partial understanding stage.

Extending the Concept

We learn by connecting new information to patterns that we already understand. In doing so, we extend the patterns. So, in my effort to make sense of this continuum, I searched for something to connect it to that already made sense. And, I related it to Csikszentmihalyi’s interpretation of complexity.

Csikszentmihalyi provides a definition of complexity based on the degree to which something is simultaneously differentiated and integrated. His point is that complexity evolves along a corridor and he provides some very interesting examples as to why complexity evolves. The diagram below indicates that what is more highly differentiated and integrated is more complex. While high levels of differentiation without integration promote the complicated, that which is highly integrated, without differentiation, produces mundane. And, it should be rather obvious from personal experience that we tend to avoid the complicated and are uninterested in the mundane. The complexity that exists between these two alternatives is the path we generally find most attractive.

On 4/27/05 Robert Lamb commented that Csikszentmihalyi’s labeling could be is bit clearer if “Differentiation” was replaced by “Many Components” and “Integration” was replaced by Highly Interconnected.” Robert also commented that “Common Sense” might be another label for “Mundane.” If the mundane is something we seem to avoid paying attention to then “Common Sense” might often be a very appropriate label. Thanks Robert.

What I found really interesting was the view that resulted when I dropped this diagram on top of the one at the beginning of this article. It seemed that “Integrated” and “Understanding” immediately correlated to each other. There was also a real awareness that “Context Independence” related to “Differentiated.” Overall, the continuum of data to wisdom seemed to correlate exactly to Csikszentmihalyi’s model of evolving complexity.

I now end up with a perception that wisdom is sort of simplified complexity.

Knowledge Management: Bah Humbug!

When I first became interested in knowledge as a concept, and then knowledge management, it was because of the connections I made between my system studies and the data, information, knowledge, and wisdom descriptions already stated. Saying that I became interested is a bit of an understatement as I’m generally either not interested or obsessed, and seldom anywhere in between. Then, after a couple months I managed to catch myself, with the help of Mike Davidson, as to the indirection I was pursuing.

I managed to survive the Formula Fifties, the Sensitive Sixties, the Strategic Seventies, and the Excellent Eighties to exist in the Nanosecond Nineties, and for a time I thought I was headed for the Learning Organizational Oh’s of the next decade. The misdirection I was caught up in was a focus on Knowledge Management not as a means, but as an end in itself. Yes, knowledge management is important, and I’ll address reasons why shortly. But knowledge management should simply be one of many cooperating means to an end, not the end in itself, unless your job turns out to be corporate knowledge management director or chief knowledge officer. I’m quite sure it will come to this, for in some ways we are predictably consistent.

I associate the cause of my indirection with the many companies I have been associated with in the past. These companies had pursued TQM or reengineering, not in support of what they were trying to accomplish, but as ends in themselves because they simply didn’t know what they were really trying to accomplish. And, since they didn’t know what they were really trying to accomplish, the misdirection was actually a relief, and pursued with a passion­­it just didn’t get them anywhere in particular.

According to Mike Davidson, and I agree with him, what’s really important is:

  • Mission: What are we trying to accomplish?
  • Competition: How do we gain a competitive edge?
  • Performance: How do we deliver the results?
  • Change: How do we cope with change?

As such, knowledge management, and everything else for that matter, is important only to the extent that it enhances an organization’s ability and capacity to deal with, and develop in, these four dimensions.

The Value of Knowledge Management

In an organizational context, data represents facts or values of results, and relations between data and other relations have the capacity to represent information. Patterns of relations of data and information and other patterns have the capacity to represent knowledge. For the representation to be of any utility it must be understood, and when understood the representation is information or knowledge to the one that understands. Yet, what is the real value of information and knowledge, and what does it mean to manage it?

Without associations we have little chance of understanding anything. We understand things based on the associations we are able to discern. If someone says that sales started at $100,000 per quarter and have been rising 20% per quarter for the last four quarters, I am somewhat confident that sales are now about $207,000 per quarter. I am confident because I know what “rising 20% per quarter” means and I can do the math.

Yet, if someone asks what sales are apt to be next quarter, I would have to say, “It depends!” I would have to say this because although I have data and information, I have no knowledge. This is a trap that many fall into, because they don’t understand that data doesn’t predict trends of data. What predicts trends of data is the activity that is responsible for the data. To be able to estimate the sales for next quarter, I would need information about the competition, market size, extent of market saturation, current backlog, customer satisfaction levels associated with current product delivery, current production capacity, the extent of capacity utilization, and a whole host of other things. When I was able to amass sufficient data and information to form a complete pattern that I understood, I would have knowledge, and would then be somewhat comfortable estimating the sales for next quarter. Anything less would be just fantasy!

In this example what needs to be managed to create value is the data that defines past results, the data and information associated with the organization, it’s market, it’s customers, and it’s competition, and the patterns which relate all these items to enable a reliable level of predictability of the future.What I would refer to as knowledge management would be the capture, retention, and reuse of the foundation for imparting an understanding of how all these pieces fit together and how to convey them meaningfully to some other person.

The value of Knowledge Management relates directly to the effectiveness with which the managed knowledge enables the members of the organization to deal with today’s situations and effectively envision and create their future. Without on-demand access to managed knowledge, every situation is addressed based on what the individual or group brings to the situation with them. With on-demand access to managed knowledge, every situation is addressed with the sum total of everything anyone in the organization has ever learned about a situation of a similar nature. Which approach would you perceive would make a more effective organization?

QUEEN – LOVE OF MY LIFE Lyric

Love of my life, you hurt me,
You broken my heart, and now you leave me.

Love of my life can’t you see,
Bring it back bring it back,
Don’t take it away from me,
Because you don’t know what it means to me.

Love of my life don’t leave me,
You’ve taken my life and now desert me,

Love of my life cant you see,
Bring it back bring it back,
Don’t take it away from me,
Because you don’t know what it means to me.

You will remember when this is blown over,
And everythings all by the way,
When I grow older,
I will be there left your side,
To remind you how I still love you
I still love you.

Hurry back hurry back,
Please bringin’ back home to me,
Because you don’t know what it means to me.

Love of my life,
Love of my life.

  • May 2024
    M T W T F S S
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031